Penulis: Ustadz Zuhair Syarif
                  Aqidah, 30 - Juli - 2003, 01:23:47
Peran IlmuBumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit,
terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap
syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk
 melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya.

Dia akan diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan
Rosul-Nya serta negeri akhirat dan penyeru kepada kenikmatan
dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu mana 
                                                     yang paling dekat dengannya.


                  Seorang yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya,
                  tidak menyembah-Nya, tidak mencintai apa yang dicintai-Nya dan
                  tidak mencari Ridlo-Nya. Tetapi dia hanya menurti ambisi
                  syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya.
                  Dia tidak peduli apakah Rabb-Nya ridlo atau murka yang penting
                  dia telah melampiaskan syahwat dan keinginannya.

                  Rasa cinta, takut, pengharapan, keridloan, kemarahan,
                  pengagungan, dan kerendahan dirinya diperuntukkan kepada
                  selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi
                  karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia
                  utamakan dan paling dia cintai dibanding keriloan maulanya
                  (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu sebagai pimpinannya,
                  syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai pengemudinya
                  dan lalai sebagai kendaraannya.


                  Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami
                  sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati
                  akan terkikis dan sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat
                  dan selamat.


                  Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat
                  yang selalu menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat
                  dari setiap syubhat (bid’ah) yang merancukan wawasannya,
                  selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum kepada
                  selain Rosul-Nya.

                  Dia selalu mengutamakan keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan
                  segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat, takut, pengharapan
                  dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta,
                  memberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang
                  mempunyai hati inilah yang selamat pada hari kiamat.


                  Allah berfirman : “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak
                  pla anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang
                  selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89). (lihat Kitab Mawaridul
                  Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis Syaithon
                  karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh
                  Ali Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).


                  Demikian keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu
                  disinari dan disirami cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu
                  sebagai obat penyakit yang ada pada dada manusia. Allah Ta’ala
                  berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepada
                  kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit
                  (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
                  orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus : 57).


                  “Maka Mauidlah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan
                  dan penyelewengan hati. Sesungguhnya kebodohan itu adalah
                  penyakit, obatnya adalah bimibngan’. Demikian penafsiran al
                  Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab
                  Mawarid hal 45).


                  Dengan ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau
                  perempuan, budak maupun orang merdeka untuk menuntut ilmu.
                  Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,
                  “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan
                  oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam
Al-Mizzy).


                  Kemudian apa sebetulnya yang dimaksud engan ilmu yang
                  disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang keutamaan dan
                  kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu Hajar
                  Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayt yang dibawaka oleh
                  Al-Imam Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” :
                  “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbku tambahkanlah kepadaku
                  ilmu” (QS Thoha : 114)


                  Beliau (Ibnu Hajar) berkata : “Ini dalil yang sangat jelas
                  tentang keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah menyuruh
                  Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk meminta tambhan
                  kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu
                  syar’I, yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas
                  setiap mukallaf (muslim dan muslimah yang baligh) tentang
                  perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu mempelajari tentang
                  Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan dari
                  perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa
                  yang tercela. Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu
                  Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat Kitab Fathul Baari Syarah Shohih
                  Bukhari 1/40).


                  Maka ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang
                  mempelajari tentang Allah, Rasul-Nya, Agama-Nya dengan
                  dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah karya Syaikhul
                  Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi
                  Rahimahullah hal 1-3).


                  Belajar ilmu yang dimaksud di atas, harus bersumber dari
                  Al-Quran dan Hadits sesuai dengan pemahaman Salaf (para
                  Sahabat Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dan orang-orang yang
                  mengikuti mereka dengan baik). Sebagian Ahlul ilmu (para
                  ulama) sepakat : “ilmu adalah firman Allah dan sabda Rasul-Nya
                  serta perkataan para sahabat tiada keraguan padanya”(lihat
                  Bahjatunnadlirin syarah Riyadlusshalihin karya Syaikh Salim
                  Bin ‘Ied Al-Hilali Juz 2 Hal 462).


                  Al-Imam Al-Auza’I berkata “Ilmu adalah apa yang datang dari
                  sahabat-sahabat Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dan
                  sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu bukan
                  ilmu.”(dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jaami’
                  2/29)



                  Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari rahimahullah menyatakan,
                  "Bahwa al-haq (kebenaran) adalah apa yang datang dari sisi
                  Allah Azza wa Jalla, as-sunnah : sunnah (hadits) Rasulullah
                  Shalallahu'alaihi wasallam dan Al-Jama'ah : kesepakatan
                  (ijma') para sahabat-sahabat shalallahu'alaihi wasallam pada
                  khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman." (Syarhus Sunnah hal 105
                  No. 105).



                  Kesimpulan

                  Tuntutlah ilmu, maka sesungguhnya ilmu sebagai obat dari
                  kebodohan dan penyelewengan hati. Bersemangatlah, carilah dari
                  ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berpedoman kepada Al-Quran
                  dan Al-Hadits dengan pemahaman salaf (para sahabat Rasulullah
                  Shalallahu'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti
                  mereka dengan baik). Dan hati-hatilah dari ahlul bid'ah yang
                  memakai ro'yu (pikiran), qiyas (yang bathil), perasaan dan
                  ta'wil dalam memahami/menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits
                  (lihat Syarhus Sunnah dan muqodimah kitab shohih muslim).

                  Sebagaimana himbauan seorang ulama dari kalangan Tabi'in
                  Muhammad bin Sirrin rahimahullah : "Sesungguhnya ilmu itu
                  adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama
                  kalian."(diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah Kitab
                  Shohihnya 1/14). Wallahu Ta'ala A'lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top